Masjid tersebut telah menjadi topik kontroversial di Jerman sejak pertama kali dibahas tahun 2001 dan baru memperoleh ijin pembangunannya tahun lalu. Berbagai keluhan membuat warga Jerman enggan menerima perubahan demografis yang mendasar – meningkatnya jumlah minoritas Muslim – dan khawatir hal itu akan mengancam kebudayaan Kristen Eropa.
Penduduk Muslim Cologne yang berjumlah 120.000 jiwa adalah yang terbanyak dari seluruh kota di Jerman. Pada tahun 2020, dua pertiga penduduk Jerman diperkirakan akan memiliki akar keturunan asing, terutama Turki.
Didesain untuk menampung 2.000 jamaah, pembangunan Masjid Cologne akan menjadi pesta penyambutan bagi minoritas Muslim yang selama ini hidup di dalam bayang-bayang masyarakat.
Dan itu bukan hanya di Cologne. Jumlah Masjid di Jerman dalam sepuluh tahun terakhir telah tumbuh menjadi 164 buah, dan akan menjadi 200 Masjid dalam waktu dekat dengan dibangunnya Masjid-Masjid baru di seluruh penjuru Jerman, ujar Claus Leggewie, penulis buku “Mosques in Germany – religious home and societal challenge”.
“Ini seperti mimpi jadi kenyataan. Ini adalah era keemasan bagi meningkatnya jumlah Masjid di Jerman,” ujar Nalan Cinar dari Ehrenfeld, kawasan multi-etnis yang menjadi lokasi Masjid baru tersebut. Cinar, seperti halnya Muslim Jerman yang lain, mengenakan jilbab sebagai tanda bahwa dia menjadi penganut yang taat. Namun, ia mengatakan, “Perasaan memiliki sesuatu yang indah tidak ternilai harganya.”
Populasi Muslim Jerman sebagian besar terdiri atas orang Turki yang datang ke Jerman pada akhir tahun 1960an sebagai “pekerja tamu” dalam era pembangunan pasca perang di negara tersebut. Banyak dari mereka yang kemudian menetap. Mereka membentuk organisasi-organisasi komunitas, meningkatkan kesejahteraan ekonominya, dan akhirnya memutuskan bahwa ruangan sholat sederhana yang berada di belakang jalan tidak lagi cukup. Masjid berkubah dengan beberapa menara adalah langkah alamiah yang selanjutnya. Awalnya, Masjid cenderung didirikan di daerah-daerah pusat industri. Namun, kini mereka dibangun di tengah-tengah komunitas penduduk suatu lingkungan. “Jika kami beribadah dengan sembunyi-sembunyi, maka orang-orang akan merasa takut,” ujar Deniz Demirci, penterjemah Turki-Jerman di Ehrenfeld.
“Masjid-masjid itu mendemonstrasikan kehadiran dan rasa percaya diri Muslim di Eropa – sikapnya sekarang adalah ‘Kami membangun ini karena kami ingin menetap di sini’,” ujar Leggewie, ilmuwan sosial di Universitas Giessen.
Tahun lalu, sebagian besar partai politik di Jerman menyetujui pembangunan yang menghabiskan dana sebesar $40 juta tersebut. Namun, persetujuan itu kini tidak diperoleh dengan mudah, sebagaimana yang telah disetujui sebelumnya.
Lokasi Masjid yang berada di tengah-tengah lingkungan yang padat memicu kemarahan para penduduk setempat. Begitu juga dengan ukuran dan menara-menaranya, yang akan mencapai tinggi setara dengan gedung 18 lantai.
Para oposisi membentuk Pro-Cologne, sebuah kelompok yang menentang “Islamisasi Kota Katedral”. Kelompok ini telah merebut lima kursi dewan lokal dalam pemilihan baru-baru ini. Insiden anti-Masjid juga terjadi di Berlin, Lauingen, dan Hanover.
Namun, beberapa pihak melihat tanda-tanda lahirnya kematangan politik. Ketika sekitar 100 anggota Pro-Cologne mencoba menggelar konvoi anti-Masjid musim gugur tahun ini, ribuan orang menolak ajakan mereka. “Masyarakat multi-budaya adalah masyarakat yang penuh konflik,” ujar Navid Kermani, seorang penulis naskah drama keturunan Iran. “Pertanyaannya adalah: Apakah konflik itu diwujudkan dengan cara kekerasan, atau didiskusikan secara terbuka?”
Di Cologne dan kota-kota lain di Jerman, dialog telah menghasilkan kesepakatan untuk membatasi jumlah Masjid yang akan dibangun.
Nezla Kelek, seorang feminis dan ilmuwan sosial keturunan Turki yang terkemuka, mengatakan Masjid berbeda dengan gereja dan sinagog. “Fungsi mereka sebagai pusat komunitas membuatnya menjadi wadah bagi integrasi,” ujarnya seraya merujuk pada desain Masjid Cologne yang menggunakan seperlima dari lokasi keseluruhannya untuk ruang sholat. Sedangkan sisa tempatnya akan digunakan untuk kantor dokter, toko roti, salon rambut, kantor hukum, dan sebuah bank Islam.
“Arsitek Masjid mewujudkan apa yang diinginkan oleh klien mereka,” ujar Kelek. “Sebuah pernyataan politik dari Islam dalam bentuk bangunan.” Hukum Jerman , ia menambahkan, tidak dapat mengatasi isu tersebut. Namun, Leggewie mengatakan bahwa Muslim Jerman kini terlibat dalam masyarakat yang lebih luas ketika mereka mengajukan rencana pembangunan Masjid, menciptakan lebih banyak pemahaman dan mengurangi kebencian.
“Secara keseluruhan, Masjid-Masjid ini diterima sebagai bagian dari normalitas Jerman,” ujar Dieter Oberndoerfer, seorang pakar populasi Muslim Jerman di Universitas Freiburg. “Kita tidak dapat di satu sisi mengatakan, ‘kami memberimu kebebasan beragama,’ dan di sisi lain kita mengatakan pada suatu komunitas ‘kalian tidak boleh membangun tempat ibadah.’” (rin/csm) Dikutip oleh www.suaramedia.com
0 ulasan:
Catat Ulasan