Ia juga memanggil mereka yang ingin mencetak hasil karya seninya dalam aktivitas ini untuk menyerahkan hasil kerjanya pada komite dalam periode yang sama.
“Kota Tarim akan menjadi pusat perhatian negara-negara di dunia Islam,” ujar al Maflahi dalam pertemuannya dengan wakil gubernur Hadramout, Omair Barak, di Tarim.
Ia menganggap dijadikannya Tarim sebagai ibukota budaya Islam adalah sebuah kehormatan bagi semua putra Hadramout dan Yaman secara umum, menekankan bahwa semua harus ikut terlibat dalam kegiatan ini.
Dalam pertemuan itu, al Maflahi mendengarkan catatan-catatan yang disampaikan oleh dewan lokal dan sejumlah pemimpim eksekutif propinsi mengenai prekonsepsi kegiatan.
Al Maflahi berharap dapat menyatukan peran Organisasi Masyarakat Sipil dan pemerintah untuk bekerjasama mencapai tujuan-tujuan dipilihnya Tarim sebagai ibukota budaya Islam.
Pertemuan tersebut membahas mekanisme yang cocok untuk melaksanakan semua aktivitas agar dapat menegaskan posisi historis kota itu dan perannya dalam menyebarkan Islam dan nilai-nilai tolerannya ke seluruh dunia.
Seni dan budaya Islam tidak hanya dirayakan di negara-negara Muslim saja.
Pada tahun 2007, di Paris, Perancis, diadakan sebuah eksibisi tentang pengaruh seni Islam terhadap seniman dan desainer Eropa di akhir abad 19 dan awal abad 20.
Eksibisi yang diadakan di Musee des Arts itu bertajuk “Purs decors? Arts de l’Islam, regards du XIXme siecle”(Hanya dekorasi? Seni Islam, melihat ke abad 19).
Karena eksibisi digelar di Paris, maka fokusnya terutama pada kolektor, desainer, dan pengusaha Perancis. Namun, tema eksibisi ini – bagaimana elemen-elemen seni dan desain Islam mampu menjawab pencarian ide seniman dan desainer Eropa – memiliki gaung Eropa yang lebih besar. Sementara beberapa kolektor dan desainer terkenal dari periode itu berkebangsaan Perancis, salah satu pendahulu mereka adalah seorang arsitek dari Inggris, Owen Jones. Hasil karya Jones di tahun 1856 yang berjudul “The Grammar of Ornament”mengandung ratusan contoh desain Islam yang digunakan di gedung-gedung, cangkir teh, maupun kertas dinding.
Eksibisi tersebut dibuka dengan dampak seni Islam dari Spanyol selatan terhadap desainer Eropa abad 19. Para pelancong di Andalusia telah lama terpesona dengan sisa-sisa peradaban Muslim abad pertengahan, yang paling menonjol adalah istana Alhambra dari masa dinasti Nasrid di Granada. Buku karya penulis Amerika, Washington Irving, yang berjudul “Tales of the Alhambra” dan ditulis tahun 1820an cukup banyak memperkenalkan sejarah Muslim Spanyol selatan ke masyarakat yang lebih luas. Para penjual dan kolektor barang-barang seni pun mengikuti jejak Irving, menjawab rasa ketertarikan yang semakin meningkat terhadap sisa-sisa peradaban ini, baik arsitektur maupun desainnya.
Sisa-sisa arsitektural di Spanyol menjadi pintu masuk bagi Eropa untuk tertarik pada desain Islam. Sejak tahun 1860an, terutama sejak dibukanya Terusan Suez di tahun 1869, Mesir menggantikan tempat Spanyol sebagai sumber seni dan arsitektur Islam. Seniman dan peneliti seperti Emile Prisse d’Avennes dari Perancis datang ke daerah tradisional Kairo. Di antara hasil karya yang paling terkenal adalah buku-buku tentang seni dan arsitektur Islam di Kairo, dan desain Islam secara umum, oleh Prisse d’Avennes yang dipublikasikan di akhir abad 19.
Bersama dengan seniman dan peneliti, datang pula para kolektor dan penjual. Di periode antara tahun 1880 hingga 1910, Paris pun menjadi pusat penjualan artifak Islam yang dikoleksi dari misi-misi ke luar negeri.
Sementara penemuan Eropa akan seni Islam di abad 19 sangat terkenal, eksibisi di Paris tahun 2007 digelar khusus untuk memperlihatkan bagaimana seni Islam menentukan bentuk koleksi waktu itu, memberikan inspirasi bagi seniman dan desainer dari berbagai generasi yang tertarik dengan fitur-fitur geometris dan pola dekoratif berulang dalam seni Islam.
Eksibisi ini menunjukkan cita rasa Eropa terhadap orientalisme dan eksotisme romantis, kuat dalam penghargaan terhadap Alhambra dan seni Islam di Spanyol selatan, membuka jalan untuk memahami otonomi estetis dari seni Islam, yang fitur khususnya terletak dalam ide “dekorasi”. Ide ini “menjelma dalam bentuk estetika Islam dan menjadikannya sebagai model bagi ‘kebangkitan’seni aplikasi Barat.”
Eksibisi seni Islam pertama kali digelar di Paris tahun 1893, diikuti dengan eksibisi serupa di tahun 1903, 1907, dan 1912. Eksibisi-eksibisi itu menegaskan peran yang dimainkan Paris sebagai ibukota seni Islam di dunia Barat dan superioritasnya atas rival-rivalnya seperti Berlin, Wina, atau London, yang juga menjadi saksi integrasi seni Islam ke dalam pasar seni internasional. (rin/iqn/wa) Dikutip oleh www.suaramedia.com
0 ulasan:
Catat Ulasan