.: Anda Suka Blog Ini? :.
.: Komentar Warga FB :.
Ahad, 16 Ogos 2009
Menjinakkan Hati Yang Liar
Ramadhan, mestinya bisa membuahkan pribadi yang mampu menahan diri. Karena dalam puasa, kita dilatih mengendalikan hawa nafsu
Hidayatullah.com--Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (SAW) tengah berada di masjid. Saat itu, beliau dikelilingi para sahabatnya. Tidak berapa lama, seorang Badui (penduduk Arab pegunungan) datang dan meminta barang-barang berharga dari beliau.
Sambil berdiri, Si Badui menyampaikan hajatnya. Nabi memberinya sesuatu ala kadarnya. Namun Si Badui merasa kurang. Tidak hanya itu, bahkan berkata kasar dan keji terhadap Nabi. Menyaksikan pemandangan tersebut, para sahabat naik pitam. Mereka nyaris bertindak kasar terhadap orang yang tak tahu sopan itu. Untunglah, Nabi cepat mencegah aksi mereka.
Esoknya, Nabi mengajak Si Badui itu ke rumahnya, dan menambahkan sejumlah pemberian lain untuknya. Hari itu, Si Badui menyaksikan dari dekat keadaan Nabi yang ternyata tidak sama dengan keadaan pemimpin-pemimpin lain yang pernah dilihatnya. Di rumah Nabi, dia tidak mendapati harta yang banyak. Melihat itu, Si Badui merasa cukup dan mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Nabi.
Di lain hari, Badui ini kembali datang ke masjid. Di depan para sahabat yang nyaris bertindak kasar kepadanya, Badui ini menyampaikan sekali lagi rasa terimakasihnya kepada Nabi. Menyaksikan perubahan besar sikap Badui itu, semua sahabat tertawa.
Rasulullah SAW kemudian menghadap sahabat-sahabatnya dan berkata: “Antara aku dan orang semacam ini bagaikan seorang yang terlepas untanya dari pemiliknya. Semua orang mengejar unta itu sambil berteriak, tapi unta itu justru terus berlari semakin jauh. Kemudian pemilik unta itu berkata: ’Aku lebih tahu bagaimana harus menjinakkan unta itu. Kalaulah kemarin aku biarkan kalian bertindak sesuka hati tentu Si Badui ini bisa mati dalam keadaan yang celaka (keadaan kufur). Tapi aku larang kalian, dan aku menjinakkannya dengan lemah lembut dan kasih sayang.”
Menghadapi orang yang berhati liar, kurang ajar, apalagi kelewat atas, sering kita terpancing marah dan reaktif. Terasa nyeri di dada yang tak tertahankan untuk diledakkan. Itu pula yang dirasakan sebagian sahabat. Begitu Badui mengata-ngatai dengan kasar kepada Nabi, mereka terpancing berbuat kasar, guna memberi pelajaran setimpal. Namun, Nabi telah memberikan pelajaran kepada kita dengan tindakan yang lebih patut kita teladani: menjinakkan hati yang liar.
Menahan Diri
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak mudah menyikapi orang yang liar dan memancing marah seperti itu. Emosi yang meluap membuat kita bertindak spontan tanpa pikir panjang. Rasanya, saat itu tak ada pilihan lagi kecuali melampiaskan kemarahan hingga terpuaskan.
Benarkah demikian? Sesaat setelah melepaskan amarah, boleh jadi jiwa terasa enteng, dan lega. Kenyataannya, bersikap dan bertindak emosional bukan menyelesaikan masalah, tapi malah membuat keadaan semakin keruh. Masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara sederhana, justru semakin rumit.
Untuk merespon tindakan bodoh orang lain, tidak perlu emosional. Cara paling tepat adalah menahan diri. Dengan menahan diri, emosi yang berkecamuk akan reda. Pikiran yang semula keruh berangsur jernih. Air kolam jiwa, yang semula bergolak dan keruh, akan berangsur tenang dan teduh. Bukankah kita hanya bisa bercermin diri pada air yang tenang? Persoalan yang ada, bisa kita lihat apa adanya, bukan dikotori perasaan kita yang sedang berkecamuk itu.
Pada kenyataannya, kemampuan menahan diri akan banyak menyelesaikan masalah. Mereka yang mampu menahan diri, lebih sukses dalam profesi maupun kehidupan sehari-hari daripada yang reaktif. Mereka bisa menjalin komunikasi dengan orang lain lebih selaras dan harmonis.
Kalau dahulu orang gandrung dengan IQ (kecerdasan intelektual), sekarang bergeser pada EQ (kecerdasan emosi). Bahkan tren terakhir, ada kecerdasan yang lebih menentukan lagi, yaitu SQ (kecerdasan spiritual). Rasul dalam teladan di atas menggambarkan bagaimana beliau amat cerdas secara emosional dan spiritual. Bagaimana kita bisa menjadi orang yang terkendali seperti beliau?
Ramadhan, mestinya bisa membuahkan pribadi yang mampu menahan diri. Karena dalam puasa, kita dilatih mengendalikan hawa nafsu. Saat ada orang yang memancing kemarahan, Rasul memberikan tuntunan; katakanlah: “Sesungguhnya saya orang yang berpuasa.” Kita tidak melayaninya dengan emosional tetapi bersikap sabar dan teguh. Tidak reaksioner. Inilah puasa yang diajarkan Rasul. Tidak sekedar menahan makan dan minum, tetapi juga menahan segala sikap dan perilaku yang tidak senonoh.
Berbahagialah orang yang telah meraih buah puasa ini. Karena dia menjadi insan unggul yang memiliki kecerdasan emosional itu. Dan itulah salah satu wujud nyata dari takwa.
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imron [3]: 134).
Tindakan Kasih Sayang
Secara fitrah, setiap orang memiliki potensi nilai-nilai kasih sayang. Cobalah bersikap tenang dan rileks. Maka respon kita terhadap sekeliling kita akan dengan mudah bisa memancarkan sifat kasih ini. Dengan bibir tersenyum, nilai kasih sayang itu serasa mengalir begitu saja. Kita terasa ringan menolong sesama dan menikmatinya. Seperti suasana Idul Fitri, dalam keadaan tenang dan jernih nilai-nilai fitrah kasih sayang itu terasa mudah mengalir dan menyegarkan suasana. Orang dengan mudah berlapang dada saling bermaaf-maafan.
Tapi, kita tidaklah selalu menghadapi keadaan yang kondusif seperti itu. Hidup ini adalah ujian dengan segala persoalannya. Di sinilah dinamika hidup nan dinamis. Tiba-tiba muncul di depan kita persoalan yang menyulut amarah. Dalam keadaan demikian itu, apakah kita masih bisa tetap bertindak dengan kasih sayang? Saat demikian inilah kualitas diri kita sedang diuji. Asalkan hati ini tetap tenang dan dapat menahan diri, kita masih bisa melihat dasar fitrah hati. Namun kalau hati bergolak, tentu akan membuatnya keruh. Yang tampak adalah endapan kotoran emosi. Itulah yang akhirnya meledak tidak karuan.
Pengalaman dan kesan selama latihan menahan diri dalam Ramadhan, dapatlah kita jadikan sebagai bekal meniti perjalanan hidup lebih bermakna. Menghadapi persoalan lebih tenang dan jernih. Terbukti cara Rasulullah menghadapi Si Badui dengan tenang dan kasih sayang, bisa menjadi alternatif tindakan yang lebih baik dari pada membalasnya dengan kasar. Rasul justru mengundangnya ke rumah dan memberi Badui itu segala keperluan meskipun saat itu sebenarnya beliau tidak banyak harta yang dimiliki.
Percayalah, sekeras- keras orang, dalam lubuk hatinya masih bisa menangkap pancaran kasih sayang. Begitu menangkap pancaran kasih sayang itu, tali kecapi hati mereka akan tersentuh. Fitrah kasih sayang dalam hati mereka pun tergetar. Kisah di atas telah memberikan gambaran yang sangat jelas. Badui yang semula bertindak kasar itu menjadi luluh. Pancaran kasih sayang dari hati Nabi itu telah menjinakkan hati yang liar itu.
[Hanif Hannan/SAHID/www.hidayatullah.com]
Hidayatullah.com--Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (SAW) tengah berada di masjid. Saat itu, beliau dikelilingi para sahabatnya. Tidak berapa lama, seorang Badui (penduduk Arab pegunungan) datang dan meminta barang-barang berharga dari beliau.
Sambil berdiri, Si Badui menyampaikan hajatnya. Nabi memberinya sesuatu ala kadarnya. Namun Si Badui merasa kurang. Tidak hanya itu, bahkan berkata kasar dan keji terhadap Nabi. Menyaksikan pemandangan tersebut, para sahabat naik pitam. Mereka nyaris bertindak kasar terhadap orang yang tak tahu sopan itu. Untunglah, Nabi cepat mencegah aksi mereka.
Esoknya, Nabi mengajak Si Badui itu ke rumahnya, dan menambahkan sejumlah pemberian lain untuknya. Hari itu, Si Badui menyaksikan dari dekat keadaan Nabi yang ternyata tidak sama dengan keadaan pemimpin-pemimpin lain yang pernah dilihatnya. Di rumah Nabi, dia tidak mendapati harta yang banyak. Melihat itu, Si Badui merasa cukup dan mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Nabi.
Di lain hari, Badui ini kembali datang ke masjid. Di depan para sahabat yang nyaris bertindak kasar kepadanya, Badui ini menyampaikan sekali lagi rasa terimakasihnya kepada Nabi. Menyaksikan perubahan besar sikap Badui itu, semua sahabat tertawa.
Rasulullah SAW kemudian menghadap sahabat-sahabatnya dan berkata: “Antara aku dan orang semacam ini bagaikan seorang yang terlepas untanya dari pemiliknya. Semua orang mengejar unta itu sambil berteriak, tapi unta itu justru terus berlari semakin jauh. Kemudian pemilik unta itu berkata: ’Aku lebih tahu bagaimana harus menjinakkan unta itu. Kalaulah kemarin aku biarkan kalian bertindak sesuka hati tentu Si Badui ini bisa mati dalam keadaan yang celaka (keadaan kufur). Tapi aku larang kalian, dan aku menjinakkannya dengan lemah lembut dan kasih sayang.”
Menghadapi orang yang berhati liar, kurang ajar, apalagi kelewat atas, sering kita terpancing marah dan reaktif. Terasa nyeri di dada yang tak tertahankan untuk diledakkan. Itu pula yang dirasakan sebagian sahabat. Begitu Badui mengata-ngatai dengan kasar kepada Nabi, mereka terpancing berbuat kasar, guna memberi pelajaran setimpal. Namun, Nabi telah memberikan pelajaran kepada kita dengan tindakan yang lebih patut kita teladani: menjinakkan hati yang liar.
Menahan Diri
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak mudah menyikapi orang yang liar dan memancing marah seperti itu. Emosi yang meluap membuat kita bertindak spontan tanpa pikir panjang. Rasanya, saat itu tak ada pilihan lagi kecuali melampiaskan kemarahan hingga terpuaskan.
Benarkah demikian? Sesaat setelah melepaskan amarah, boleh jadi jiwa terasa enteng, dan lega. Kenyataannya, bersikap dan bertindak emosional bukan menyelesaikan masalah, tapi malah membuat keadaan semakin keruh. Masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara sederhana, justru semakin rumit.
Untuk merespon tindakan bodoh orang lain, tidak perlu emosional. Cara paling tepat adalah menahan diri. Dengan menahan diri, emosi yang berkecamuk akan reda. Pikiran yang semula keruh berangsur jernih. Air kolam jiwa, yang semula bergolak dan keruh, akan berangsur tenang dan teduh. Bukankah kita hanya bisa bercermin diri pada air yang tenang? Persoalan yang ada, bisa kita lihat apa adanya, bukan dikotori perasaan kita yang sedang berkecamuk itu.
Pada kenyataannya, kemampuan menahan diri akan banyak menyelesaikan masalah. Mereka yang mampu menahan diri, lebih sukses dalam profesi maupun kehidupan sehari-hari daripada yang reaktif. Mereka bisa menjalin komunikasi dengan orang lain lebih selaras dan harmonis.
Kalau dahulu orang gandrung dengan IQ (kecerdasan intelektual), sekarang bergeser pada EQ (kecerdasan emosi). Bahkan tren terakhir, ada kecerdasan yang lebih menentukan lagi, yaitu SQ (kecerdasan spiritual). Rasul dalam teladan di atas menggambarkan bagaimana beliau amat cerdas secara emosional dan spiritual. Bagaimana kita bisa menjadi orang yang terkendali seperti beliau?
Ramadhan, mestinya bisa membuahkan pribadi yang mampu menahan diri. Karena dalam puasa, kita dilatih mengendalikan hawa nafsu. Saat ada orang yang memancing kemarahan, Rasul memberikan tuntunan; katakanlah: “Sesungguhnya saya orang yang berpuasa.” Kita tidak melayaninya dengan emosional tetapi bersikap sabar dan teguh. Tidak reaksioner. Inilah puasa yang diajarkan Rasul. Tidak sekedar menahan makan dan minum, tetapi juga menahan segala sikap dan perilaku yang tidak senonoh.
Berbahagialah orang yang telah meraih buah puasa ini. Karena dia menjadi insan unggul yang memiliki kecerdasan emosional itu. Dan itulah salah satu wujud nyata dari takwa.
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imron [3]: 134).
Tindakan Kasih Sayang
Secara fitrah, setiap orang memiliki potensi nilai-nilai kasih sayang. Cobalah bersikap tenang dan rileks. Maka respon kita terhadap sekeliling kita akan dengan mudah bisa memancarkan sifat kasih ini. Dengan bibir tersenyum, nilai kasih sayang itu serasa mengalir begitu saja. Kita terasa ringan menolong sesama dan menikmatinya. Seperti suasana Idul Fitri, dalam keadaan tenang dan jernih nilai-nilai fitrah kasih sayang itu terasa mudah mengalir dan menyegarkan suasana. Orang dengan mudah berlapang dada saling bermaaf-maafan.
Tapi, kita tidaklah selalu menghadapi keadaan yang kondusif seperti itu. Hidup ini adalah ujian dengan segala persoalannya. Di sinilah dinamika hidup nan dinamis. Tiba-tiba muncul di depan kita persoalan yang menyulut amarah. Dalam keadaan demikian itu, apakah kita masih bisa tetap bertindak dengan kasih sayang? Saat demikian inilah kualitas diri kita sedang diuji. Asalkan hati ini tetap tenang dan dapat menahan diri, kita masih bisa melihat dasar fitrah hati. Namun kalau hati bergolak, tentu akan membuatnya keruh. Yang tampak adalah endapan kotoran emosi. Itulah yang akhirnya meledak tidak karuan.
Pengalaman dan kesan selama latihan menahan diri dalam Ramadhan, dapatlah kita jadikan sebagai bekal meniti perjalanan hidup lebih bermakna. Menghadapi persoalan lebih tenang dan jernih. Terbukti cara Rasulullah menghadapi Si Badui dengan tenang dan kasih sayang, bisa menjadi alternatif tindakan yang lebih baik dari pada membalasnya dengan kasar. Rasul justru mengundangnya ke rumah dan memberi Badui itu segala keperluan meskipun saat itu sebenarnya beliau tidak banyak harta yang dimiliki.
Percayalah, sekeras- keras orang, dalam lubuk hatinya masih bisa menangkap pancaran kasih sayang. Begitu menangkap pancaran kasih sayang itu, tali kecapi hati mereka akan tersentuh. Fitrah kasih sayang dalam hati mereka pun tergetar. Kisah di atas telah memberikan gambaran yang sangat jelas. Badui yang semula bertindak kasar itu menjadi luluh. Pancaran kasih sayang dari hati Nabi itu telah menjinakkan hati yang liar itu.
[Hanif Hannan/SAHID/www.hidayatullah.com]
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 ulasan:
Catat Ulasan