Pemerintah Turki dan Armenia mengatakan bahwa keduanya akan melakukan konsultasi dalam negeri selama enam minggu sebelum menandatangani dua buah protokol yang akan mengesahkan hubungan diplomatik dan mengembangkan hubungan bilateral.
“Proses konsultasi politik akan diselesaikan dalam waktu enam minggu, disusul dengan penandatanganan dua buah protokol yang kemudian akan diserahkan kepada parlemen masing-masing untuk mendapatkan pengesahan,” kata menteri luar negeri dari kedua negara dalam sebuah pernyataan bersama yang diperantarai oleh Swiss.
Berdasarkan salinan protokol yang dirilis oleh kementerian luar negeri Armenia, kedua negara sama-sama menyepakati pembukaan kembali perbatasan utama dalam kurun waktu dua bulan sejak perjanjian disepakati.
Dalam perjanjian tersebut juga disebutkan mengenai pendirian sebuah komisi gabungan untuk memeriksa “dimensi historis” dari perselisihan kedua negara, termasuk sebuah pemeriksaan ilmiah yang netral terhadap catatan dan arsip sejarah.
Pada bulan April lalu, kedua negara mengatakan bahwa masing-masing telah menyetujui sebuah rencana perdamaian untuk menormalkan kembali hubungan diplomatik setelah bertahun-tahun bermusuhan.
Turki sejak lama menolak untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Armenia menyusul upaya Armenia untuk membuat peristiwa pembunuhan warga Armenia oleh kekaisaran Ottoman disebut sebagai sebuah genosida, sebuah label yang ditolak keras oleh Turki.
Armenia mengatakan bahwa ada 1,5 orang penduduknya yang dibunuh antara tahun 1915 dan 1917 oleh kekaisaran Ottoman Turki.
Turki menolak label genosida dan mengatakan bahwa warga Armenia yang tewas berkisar antara 300.000 hingga 500.000 orang, dan setidaknya rakyat Turki juga tewas dalam jumlah yang sama ketika Armenia melakukan serangan bersenjata di sebelah timur Anatolia dan bekerjasama dengan pasukan Rusia yang melakukan invasi.
Turki juga menutup perbatasan dengan Armenia pada tahun 1993 atas dasar solidaritas dengan sekutunya, Azerbaijan, atas dukungan Armenia terhadap gerakan separatis etnis Armenia dalam pemberontakan di wilayah Nagomy Karabakh.
Jarangnya dialog antara kedua negara tetangga tersebut mulai berubah pada bulan September tahun lalu, ketika Presiden Abdullah Gul mengunjungi Yerevan untuk menonton pertandingan sepakbola kualifikasi Piala Dunia antara tim nasional kedua negara. Kunjungan tersebut menjadi kunjungan pertama yang dilakukan oleh seorang pemimpin Turki.
Gul juga mengundang Presiden Armenia, Serzh Sarkisian, untuk menghadiri pertandingan ulang yang berlangsung di Turki pada bulan Oktober. Pada bulan Juli, Sarkisian mengatakan bahwa dirinya tidak akan datang ke Turki kecuali pemerintah Turki mengambil “langkah-langkah nyata” untuk memperbaiki hubungan kedua negara.
AS mendukung penuh upaya rekonsiliasi tersebut, Presiden Barack Obama menyerukan kepada Armenia dan Turki untuk memperbaiki hubungan. Seruan tersebut dilontarkan kala Obama melakukan lawatan ke Turki pada awal tahun ini.
Pada hari Senin petang, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengeluarkan pernyataan bahwa Perancis mendukung Turki dan Armenia untuk meningkatkan upaya keduanya sehingga dapat segera menandatangani kesepakatan, sebuah hal yang akan menjadi peristiwa bersejarah dan menciptakan stabilitas wilayah.
Namun Azerbaijan menuntut bahwa segala bentuk kesepakatan final harus dikaitkan dengan penarikan tentara Armenia dari Nagorny Karabakh, yang memisahkan diri dari Azerbaijan dalam sebuah perang yang terjadi pada awal tahun 1990an.
Para pejabat pemerintah mengatakan bahwa Azerbaijan yang kaya energi akan mempertimbangkan pemotongan pasokan gas kepada Turki jika pemerintah Turki mengabaikan isu Karabakh dalam dialog dengan Armenia.
Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu, pada hari Senin mengatakan bahwa Turki akan tetap menjaga kepentingan Azerbaijan dalam upaya rekonsiliasi dengan Armenia, dalam sebuah wawancara yang disiarkan oleh stasiun NTV, Davutoglu berkata, “tujuan kami adalah menciptakan stabilitas di wilayah Kaukasus.”
Turki tetap mencoba untuk meningkatkan citranya sebagai sekutu dari negara-negara kuat dunia. Upaya untuk berbaikan dengan Armenia bertepatan dengan upaya untuk menyelesaikan permusuhan dengan kelompok Kurdi. Keduanya adalah isu-isu yang penting dalam upaya Turki untuk mendapatkan status keanggotaaan Uni Eropa.
Pemerintahan Turki tetap saja tidak kebal dari tekanan domestik, khususnya dari kalangan nasionalis yang meyakini bahwa Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan tengah berupaya untuk menghapuskan prinsip-prinsip sekuler dari Turki. Perbedaan pendapat di dalam negeri tersebut semakin memperlambat perkembangan isu Armenia. (dn/f24/ap) Dikutip oleh www.suaramedia.com
0 ulasan:
Catat Ulasan